Blog Serba Ada

New Post

Rss

Showing posts with label Novel. Show all posts
Showing posts with label Novel. Show all posts
Wednesday, December 14, 2016
Misteri rumah hantu

Misteri rumah hantu

Misteri rumah hantu


Misteri rumah hantu #1 Pada zaman ini, hidup lah sepasang kekasih bernama Deddy dan Yuvia. Sudah 2 bulan mereka berpacaran. Mereka selalu bersama, tertawa, bercanda, dan berbagi cerita menjelang kelulusan Yuvia. Iya, Yuvia tinggal menanti hasil pengumuman kelulusan di sekolahnya saja. Sedangkan Deddy yang sudah menjadi mahasiswa, terus memotivasi Yuvia untuk lulus. Hingga pada suatu hari . . . (Di pantai) Setelah bermain kejar-kejaran di pantai, Deddy dan Yuvia pun kelelahan dan beristirahat di bawah pohon kelapa yang cukup tinggi. "Hahahah... Akhirnya aku ketangkap deh" ucap Deddy sambil duduk bersandar di pohon kelapa. "Udahan ya, capek nih" pinta Yuvia. "Iya, iya. Sini duduk di sebelahku" Deddy pun menarik tangan Yuvia. "Capek ya ternyata" ujar Yuvia seraya menyandarkan kepalanya di pundak Deddy. "Iya, jadi haus. Untung sebelum kesini aku udah beli minuman" Deddy mengeluarkan 2 botol minuman dari tas nya. "Ini untuk Yuvia" lanjut Deddy yang telah menyodorkan minuman. "Bukain dong" pinta Yuvia dengan manja nya. "Huu.. Dasar manja" kata Deddy sambil membuka tutup botol minuman nya dan kembali memberikan ke Yuvia. "Makasih, sayang" Yuvia pun meminum minuman yang di berikan Deddy. Melihat Yuvia yang penuh dengan peluh, Deddy pun segera mengeluarkan sapu tangan dari saku nya. Lalu mengusap keringat Yuvia. "Ih, genit deh" seru Yuvia yang tersenyum malu. "Gak apa-apa dong. Kan dengan pacar sendiri" Deddy pun membalas senyum Yuvia. Keheningan seketika menyeruak. Deddy mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya. Ternyata, yang di keluarkan adalah sebuah mahkota yang terbuat dari ranting pohon. Deddy pun memasangkan mahkota tersebut kepada Yuvia. "Apa ini, Ded?" tanya Yuvia sambil menyentuh mahkota di kepalanya. "Kamu buat ini sendiri?" sambungnya. "Iya, aku membuatnya sendiri. Jelek ya?" "Nggak kok, bagus banget malah. Kenapa kamu tiba-tiba buatin aku ini?" "Karena aku ingin, kamu menjadi ratu yang paling cantik dalam hidupku" gombal Deddy seraya memegang kedua tangan Yuvia. "Dasar raja gopal! Eh, maksudku raja gombal" dengan cepat Yuvia melepaskan tangannya dari Deddy. "Hahahah... Aku serius, Via" "Makasih ya, Ded. Kamu paling bisa buat aku bahagia" senyuman pun terpantul dari wajah Yuvia. "Aku janji, sampai kapan pun aku akan buat kamu tersenyum. Mahkota itu akan jadi saksi cinta kita berdua" ucap Deddy dengan tatapan serius terhadap Yuvia. "Aku percaya sama kamu, Ded" Yuvia balas menatap Deddy. Tak lama kemudian, mereka pun pulang di iringi langit mentari senja... *** (Keesokan harinya) Ruang makan di rumah Deddy, tampak dua pasang suami istri yang tengah menyantap sarapan. Deddy yang baru saja keluar dari kamar, langsung menghampiri sepasang suami istri tersebut. "Pagi, ma... Pagi, pa..." ujar Deddy yang telah duduk di meja makan. "Pagi, Ded" balas mama nya. "Oh ya, Ded... Kemarin papa sama mama dapat kabar dari tantemu di Jepang. Ia bilang, bulan depan kamu akan di biayai untuk melanjutkan kuliah di sana" kata papa Deddy. "Seperti impian mu kan, Ded?" tambah mama Deddy. "Papa sama mama serius?" Deddy sedikit tidak percaya dengan yang dikatakan orang tua nya. "Iya dong" balas mama Deddy. Deddy kaget mendengar ucapan kedua orang tua nya. Sebenarnya ia senang mendengar kabar itu, karena berkuliah di Jepang adalah impian nya sejak di bangku SMA. Tapi ia merasa tidak bisa pergi sekarang, masih ada Yuvia... Sangat tidak mungkin Deddy meninggalkan Yuvia, setelah mengikrarkan janjinya kemarin. "Tapi, ma. . ." belum selesai Deddy bicara, mama nya langsung menyambar ucapan Deddy. "Tawaran tante mu hanya berlaku sekali. Jangan di sia-siakan" Deddy pun berpikir sejenak. Terjadi gejolak batin di dalam diri Deddy. 'Bagaimana ini? Apa yang harus ku lakukan? Kuliah di Jepang adalah impian ku. Sekarang kesempatan itu sudah berada di depan mata. Akan tetapi, aku gak bisa ninggalin Yuvia' pikir Deddy. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya . . . "Baiklah, ma. Deddy menerima tawaran tante untuk melanjutkan kuliah di sana" Deddy membuat keputusan itu dengan sangat terpaksa. "Bagus! Nanti mama beritahu tante kamu" "Satu lagi... Selama kamu di sana, kamu akan tinggal di asrama dan tidak di perbolehkan memegang alat komunikasi apapun. Kecuali hari libur. Kamu siap?" tanya papa Deddy. "Iya, aku siap" dengan penuh keraguan, Deddy mengiyakannya. "Ya udah, cepat habiskan sarapanmu. Nanti telat berangkat ke kampus" ucap mama Deddy. "Udah, ma. Deddy langsung berangkat ya..." ujar Deddy sambil mencium tangan papa dan mama nya. *** Hari demi hari telah terlewati. Selama itu, Deddy membuat hari-hari terakhirnya bersama Yuvia menjadi amat sangat menyenangkan. Hingga suatu malam, Deddy menyanyikan sebuah lagu untuk Yuvia melalui telepon. Dan karena suara Deddy akan sangat mengganggu pendengaran, maka lebih baik di 'skip' saja saat ia bernyanyi ._. "I love you" kata Deddy di akhir lagu. "I love you too" balas Yuvia. 'Kenapa tiba-tiba Deddy menyanyikan lagu yang terkesan perpisahan begitu?' seru Yuvia dalam hati. "Ya udah, aku mau tidur nih. Kamu juga ya. Have a nice dream" ucap Deddy. "Iya, sayang. Makasih" balas Yuvia. Lalu mereka berdua pun terlelap di ranjang masing-masing dan di rumah masing-masing. *** Hingga tiba waktunya pengumuman kelulusan Yuvia. Yuvia pun lulus dengan nilai yang bagus. Yuvia merayakan kelulusannya bersama teman-teman di lapangan sekolah. Mereka berteriak bahagia, meneteskan air mata bersama, dan saling berpelukan. Tanpa di sadari, Deddy menyaksikan itu dari jauh. Dengan bahasa tubuh, Deddy memanggil Yuvia. Yuvia pun bergegas menghampiri Deddy yang berada di luar pekarangan sekolah. "Ikut aku, Via" ajak Deddy sambil menarik tangan Yuvia. Yuvia hanya diam dan bingung melihat tingkah Deddy yang sangat gelisah. Hanya ada satu pertanyaan yang urung ia tanyakan ke Deddy, yaitu . . . 'Mau ke mana ini?

bersambung 

Sunday, December 11, 2016
(MY FIRST KISS)

(MY FIRST KISS)

(MY FIRST KISS)




Minggu pagi hari yang indah,aku awali dengan meminum segelas air putih,tak lama kemudian aku merasakan akan buang air besar,setelah itu saya pergi keluar untuk berjalan-jalan santai dihari minggu sambil menikmati suasana olah raga pagi. Setelah saya menjadi bosan,saya pergi ke dekat rel kereta untuk melihat kereta api pagi,dan ternyata ketika keretanya lewat isi penumpangnya sangat sedikit dan membuat saya heran,”ah,mungkin Cuma sayanya saja yang sudah lama tak melihat kereta api” kataku dalam hati. Hatiku sekarang mulai jenuh karena kereta yang aku lihat sudah menjauh. Lalu aku memutuskan untuk berjalan-jalan di wilayah perumahanku sampai aku tersesat di blok B. Tak peduli aku tersesat,aku melanjutkan jalanku untuk pulang kerumah dan akhirnya aku sampai dirumahku dan aku langsung membuka laptopku dan bersocial network sampai aku merasa bosan. Melihat keadaan kamar berantakan aku mulai merasa risih,dan aku memutuskan untuk membersihkan kamarku dari atas sampai bawah dan sela-sela kamarku,kubuang-buangkan semua sampah dan kotoran yang ada,dan membersihkan barang-barang yang  masih terpakai. “Kamarku sudah bersih deh,sekarang aku udah punya kamar pribadi,asyiik aku tinggal menata ulang aja nih” kata aku kegirangan. Melihat BlackBerry ku sepi tanpa sms dan email masuk,aku mencoba untuk membuka sms dan email yang ada di BlackBerry ku.dan ternyata dari tadi ada pesan email dari Vina sahabatku dan ia mengatakan didalam pesan emainya “is,ketemuan yuk! aku di taman kota nih,aku mau cerita sama kamu,aku pengen nangis tau” :’(  dan aku membalasnya lewat sms “sekarang!” dan ia menjawab “iya,aku butuh kamu” dan akupun bergegas untuk pergi ke taman kota,di perjalanan kami sempat sms-an agar tidak terlalu bosan. Setelah sampai di taman kota,aku segera mencarinya,tak lama kemudian aku mendengar suaranya yang memanggilku, “waiiis”,dan akupun sangat terkejut dan langsung menanyakan kepadanya “kenapa kamu bisa sampai sini? Rumah kamukan jauh?” ia membalas “aku sangat bosan is” dengan nada yang sedih. Lalu aku duduk di sampingnya dan menanyakan kepadanya “kamu sedih karena apa?” “aku sedih karena aku dimarahi sama ayah dan ibuku karena nilaiku jelek semua lalu kedua orangtuaku meminta semua kartu kredit aku dan membanting semua hape aku,dan bodohnya aku lagi,aku langsung membawanya ke tukang servis,ketika aku bertanya biayanya, ternyata semuanya harganya Rp 250.000.00 . coba bayangin is,aku dapet dari mana uang segitu? Aku sudah ga punya uang tau,dan aku boleh ga minjem uang sama kamu?” ujar vina sambil tersenyum manja,akupun langsung mengalihkan pembicaraan dan tak berhasil,karena vina itu seperti orang panik,tanganku langsung mencubit pipi tembemnya agar ia tidak terlalu serius membahas masalahnya sampai ia tenang dan mengelak tanganku yang sedang mencubit pipi tembemnya vina. Dan ketika aku selalu bercanda untuk menanggapi curhatannya, dengan sengaja vina membekapku dengan jaketku yang aku tanggalkan disampingku, dam menjepit wajahku dan mencubit kedua pipiku dengan kedua tangannya sampai pipiku berubah warnanya menjadi kemerahan. Akhirnya pun aku mengalah, dan mengatakan   “aku pinjamkan uang nih tetapi hanya Rp 100.000.00 saja,soalnya aku udah ga punya uang lagi yah” “iya ga apa-apa kok,tapi ga apa-apa yah, ngerepotin” “iya ga apa-apa,da kita sekarang kemana nih?” tanyaku kepada vina untuk menenangkan vina dari semua masalahnya. “Kita ke cafe yuk!”sahut vina,dan aku menyutujuinya sambil berjalan bergandengan tangan dengan vina “yuk”. Sayangnya,cafenya tutup,  dan vina memutuskan untuk membeki es campur saja,kami memesan dua es campur dan tanganku iseng mengambil sendoknya dan menyuapkan buahnya ke mulutnya akirnya kami berdua saling suap-suapan. Setelah kami memakan es buah,kami bermain di tempat anak-anak,kami berdua bermain basket, anehnya aku yang sangat sering bermain basket selalu gagal dalam memasukan bola ke ring basketnya tetapi vina dengan jagonya dapat memasukan bola kedalam ring basket dan mendapatkan point yang banyak. Setelah itu kami berjalan-jalan sampai ke tempat perbelanjaan seperti swalayan,ditengah perjalanan kami hanya mengobrol sampai akhirnya lelah dan duduk dibangku panjang dan kami masih mengobrol antara aku dan vina.  “vin,kamu suka dicium yah” tanyaku datar, “iya,emang kenapa?” “enggak,aku cuman pengen nanya doang” jawabku sedikit gugup. “iya,aku itu pernah dicium sama temanku waktu ulang tahunku dan juga kedua orangtuaku” kata vina lagi. Dalam hatiku ingin sekali untuk menciumnya tetapi aku malu untuk melakukannya,tetapi karena rasa cintaku kepadanya sampai kedalam hatiku,dan “cupp!” akupun menciumnya dengan penuh perasaan “haah,iii kamu kok nyium aku sih!” sambil tangannya vina mengelak pipiku yang dekat dengan wajahnya karena setelah mencium pipi vina, “kamu ini bandel yah,aku bilangin loh sama mamah kamu!” omel vina kepadaku, dan aku hanya bisa tersenyum malu dan sedikit tertawa karena melihat vina yang mengomel-omel kepadaku, “itulah ciuman pertamaku,aku belum pernah sama sekali mencium perempuan manapun selain kamu,karena jika kamu mau menjadi miliku,kamu akan menjadi yang pertama bagiku walaupun aku bukanlah yang pertama bagimu.” Kata aku kepada vina,”owh kamu belum pernah mencium perempuan sama sekali?” kata vina,akupun hanya mengangguk-angguk menandakan iya. Setelah bama duduk disini,kami pergi pulang dan menaikki angkutan umum yang berbeda, ketika aku dan dia telah berada di angkot masing-masing,aku mendapatkan pesan singkat dari vina “makasih kissnya” dan aku membalas  “sama sama”. Dan hatiku sekarang merasa lega karena aku bisa menunjukan rasa cintaku kepada vina. Dan aku ingin mengatakan kepada vina “I LOVE YOU”
berawal dari benci

berawal dari benci

berawal dari benci




Bagi teman - teman yang suka membaca novel tentang cinta, saya akan berikan satu cerita menarik kisah cinta yang romantis. Selamat membaca.

 “Sahabat selalu ada disaat kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela mengalah padahal hati kecilnya menangis…”
***
Bel istirahat akan berakhir berapa menit lagi. Nadia harus segera membawa buku tugas teman-temannya ke ruang guru sebelum bel berbunyi. Jabatan wakil ketua kelas membuatnya sibuk seperti ini. Gubrak…. Buku-buku yang dibawa Nadia jatuh semua. Orang yang menabrak entah lari kemana. Jangankan menolongnya, meminta maaf pun tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya...” gerutu Nadia. Dengan wajah masam ia mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai Nadia merapikan terdengar langkah kaki yang datang menghampirinya.

“Kasian banget. Bukunya jatuh semua ya?” cemooh seorang cowok dengan senyum sinis. Sejenak Nadia berhenti merapikan buku-buku, ia mencoba melihat orang yang berani mencemoohnya. Ternyata dia lagi. Cowok berpostur tinggi dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Nadia benci banget sama cowok ini. Seumur hidup Nadia nggak bakal bersikap baik sama cowok yang ada di depannya ini. Lalu Nadia mulai melanjutkan merapikan buku tanpa menjawab pertanyaan cowok tersebut.

Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan alisnya. Dan kembali ia tercenung karena cewek di depannya tidak menanggapi. Biasanya kalau Nadia terpancing dengan omongannya, perang mulut pun akan terjadi dan takkan selesai sebelum seseorang datang melerai.

Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring
“Maksud hati pengen bantu temen gue yang jelek ini. Tapi apa daya udah keburu bel. Jadi sori nggak bisa bantu.” ucap cowok tersebut sambil menekan kata jelek di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek yang ada di depannya. Tapi yang ditunggu tidak membalas dengan cemoohan atau pun ejekan.

“Lo berubah.” gumam cowok tersebut lalu berbalik bersiap masuk ke kelasnya. Begitu cowok itu membalikkan badannya, Nadia yang sudah selesai membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Nadia mulai mengayunkan kaki kanannya kearah kaki kiri cowok tersebut dengan keras.
“Aduuuuhh” pekik cowok tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejek Nadia sambil berlari membawa buku-buku yang tadi sempat berserakan. Bisa dibayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara Nadia pakai kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi di wajah cewek tinggi berambut ikal tersebut.
***
“Nadia….”
Nadia menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata dari kejauhan Nesya teman baiknya sejak SMP sedang berlari kearahnya. Dengan santai Nadia membalikkan badannya berjalan mencari motor matic kesayangannya. Ia sendiri lupa dimana menaruh motornya. Nadia memang paling payah sama yang namanya mengingat sesuatu. Masih celingak-celinguk mencari motor, Nesya malah menjitak kepalanya dari belakang.
“Woe non, nggak denger teriakan gue ya? Temen macam apa yang nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Amel dengan bibir monyong. Ciri khas sahabatnya tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Sya. Gue lagi bad mood, pengen cepet pulang.”

“Bad mood? Jelas-jelas loe tadi bikin gempar satu kelas. Udah nendang kaki cowok sampai tuh cowok permisi pulang, enggak minta maaf lagi.” jelas Nesya panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang kakinya, masak segitu parahnya?” Nadia benar-benar nggak nyangka. Masa sih keras banget? Tuh cowok ternyata bener-bener lembek, pikirnya dalam hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan super duper. Kasian Reno lho.”
“Enak aja. Orang dia yang mulai duluan.” bantah Nadia membela diri.
Sejenak Nesya terdiam, lalu berlahan bibirnya tersenyum tipis.  


“Kenapa sih kalian berdua selalu berantem? Masalahnya masih yang itu? Itu kan SMP dulu banget. ” ujar Nesya polos, tanpa bermaksud mengingatkan kejadian yang lalu. “Lagi pula gue udah bisa nerima kalau Reno nggak suka sama gue.”
“Tau ah gelap!”
***
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian panas tak menyurutkan niat para siswa SMA Harapan untuk bergegas pulang ke rumah. Nadia sendiri sudah membereskan buku-bukunya. Sedangkan Nesya masih berkutat pada buku catatanya lalu sesekali menoleh ke papan tulis.

“Makanya kalau nulis jangan kayak siput” Dengan gemas Nadia mencubit pipi Nesya. “Duluan ya, Sya. Disuruh nyokap pulang cepet nih!” Nesya hanya mendengus lalu kembali sibuk dengan catatanya.
Saat Nadia membuka pintu kelas, seseorang ternyata juga membuka pintu kelasnya dari luar.
“Eh, sori..” ucap Nadia kikuk. Tapi begitu sadar siapa orang yang ada di depannya, Nadia langsung ngasih tampang jutek kepada orang itu

“Ngapain loe kesini?! Masih sakit kakinya? Apa cuma dilebih-lebihin biar kemarin pulang cepet? Hah?! Jadi cowok kok banci baget!!!” Kesal Nadia.
Jujur Reno udah bosen kayak gini terus sama Nadia. Dia pengen hubungannya dengan Nadia bisa kembali seperti dulu.
“Nggak usah cari gara-gara deh. Gue cuma mau cari Nesya.” ucap Reno dingin sambil celingak celinguk mencari Nesya. “Hey Sya!” ucap Reno riang begitu orang yang dicarinya nongol.
“Hey juga. Jadi nih sekarang?” Nesya sejenak melirik Nadia. Lalu dilihatnya Reno mengangguk bertanda mengiyakan. “Nad, kita duluan ya,” ujar Nesya singkat.

Nadia hanya bengong lalu dengan cepat mengangguk. Dipandangi Nesya dan Reno yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanya jadi aneh setiap melihat mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu organ tubuhnya. Biasanya Reno selalu mencari masalah dengannya. Namun kini berbeda. Reno tidak menggodanya dengan cemoohan atau ejekan khasnya. Reno juga tidak menatapnya saat ia bicara. Seperti ada yang hilang. Seperti ada yang pergi dari dirinya.

***
Byuuurr.. Sirup rasa stowberry menggalir deras dari rambut Nadia hingga menetes ke kemeja putihnya. Nadia nggak bisa melawan. Ia kini ada di WC perempuan. Apalagi ini jam terakhir. Nggak ada yang akan bisa menolongnya sampai bel pulang berbunyi.
“Maksud loe apa?” bentak Nadia menantang. Ia nggak diterima di guyur kayak gini.
“Belum kapok di guyur kayak gini?” balas cewek tersebut sambil menjambak rambut Nadia. “Riz, mana sirupnya yang tadi?” ucap cewek itu lagi, tangan kanannya masih menjambak rambut Nadia. Rizka langsung memberi satu gelas sirup yang sudah siap untuk disiram ke Nadia.
“Loe mau gue siram lagi?” tanya cewek itu lagi.

Halo??!! Nggak usah ditanya pun, orang bego juga tau. Mana ada orang yang secara sukarela mau berbasah ria dengan sirup rasa stroberry? Teriak Nadia dalam hati. Ia tau kalau cewek di depannya ini bernama Linda. Linda terkenal primadona sekolah karena keganasannya dalam hal melabrak orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat masuk rumah sakit, mending Nadia diem aja. Ia juga tau kalau Linda satu kelas dengan Reno. Wait, wait.. Reno??? Jangan-jangan dia biang keladinya. Awas lo Ren, sampe gue tau loe biang keroknya. Gue bakal ngamuk entar di kelas lo!
“Gue rasa, gue nggak ada masalah ama loe.” teriak Nadia sambil mendorong Linda dengan sadisnya. Nadia benar-benar nggak tahan sama perlakuan mereka. Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang jelas ni nenek lampir perlu di kasih pelajaran.

Kedua teman Linda, Rizka dan Ayu dengan sigap mencoba menahan Nadia. Tapi Nadia malah memberontak. “Buruan Lin, ntar kita ketahuan.” kata Ayu si cewek sawo mateng.
Selang beberapa detik, Linda kembali mengguyur Nadia dengan sirup.
“Jauhin Reno. Gue tau loe berdua temenan dari SMP! Dulu lo pernah nolak Reno. Tapi kenapa loe sekarang nggak mau ngelepas Reno?!!”
“Maksud loe?” ledek Nadia sinis.
“Gue nggak kenal kalian semua. Asal lo tau gue nggak ada apa-apa ama Reno. Lo nggak liat kerjaan gue ama tuh cowok sinting cuma berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipi Nadia.
“Tapi lo seneng kan?” teriak Linda tepat disebelah kuping Nadia. Kesabaran Nadia akhirnya sampai di level terbawah.

Buuugg! Tonjokan Nadia mengenai tepat di hidung Linda. Linda yang marah makin meledak. Perang dunia pun tak terelakan. Tiga banding satu. Jelas Nadia kalah. Tak perlu lama, Nadia sudah jatuh terduduk lemas. Rambutnya sudah basah dan sakit karena dijambak, pjpinya sakit kena tamparan. Kepalanya terasa pening.
“Beraninya cuma keroyokan!” bentak seorang cowok dengan tegas. Serempak trio geng labrak menoleh untuk melihat orang itu, Nadia juga ingin, tapi tertutup oleh Linda. Dari suaranya Nadia sudah tau. Tapi ia nggak tau benar apa salah.

“Pergi loe semua. Sebelum gue laporin.” ujar cowok itu singkat. Samar-samar Nadia melihat geng labrak pergi dengan buru-buru. Lalu cowok tadi menghampiri Nadia dan membantunya untuk berdiri.
“Loe nggak apa-apa kan, Nad?” sesal Reno.
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
***
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Nadia dan Reno berada di ruang UKS. Nadia membaringkan diri tempat tidur yang tersedia di UKS. Reno memegangi sapu tangan dingin yang diletakkan di sekitar pipi Nadia. Nadia lemas luar biasa. Kalau dia masih punya tenaga, dia nggak bakalan mau tangan Nadia nyentuh pipinya sendiri. Tapi karena terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar loe pulang gimana?” tanya Reno polos.
“Nggak gimana-mana. Pulang ya pulang.” jawab Nadia jutek. Rasanya Nadia makin benci sama yang namanya Reno. Gara-gara Reno dirinya dilabrak hidup-hidup. Tapi kalau Reno enggak datang. Mungkin dia bakal pingsan duluan sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek loe ya?” ucap Nadia dengan wajah jengkel.
“Nggak.” ucap Reno datar.


“Terus kok dia malah ngelabrak gue? Nyuruh jauhin loe segala. Emang dia siapa?” gerutu Nadia kesal seribu kesal. Ups! Kok gue ngomong kayak gue enggak mau jauh-jauh sama Reno. Aduuuhh…
Reno sejenak tersenyum.
“Dia tuh cewek yang gue tolak. Jadi dia tau semuanya tentang gue dan termasuk tentang lo” ucap Reno sambil menunjuk Nadia.
Nadia terdiam. Dia nggak tau harus ngapain setelah Reno menunjuknya. Padahal cuma nunjuk. “Nanti bisa pulang sendiri kan?” tanya Reno.
“Bisalah. Emang loe mau nganter gue pulang?”
“Emang loe kira gue udah lupa sama rumah loe? Jangan kira lo nolak gue terus gue depresi terus lupain segala sesuatu tentang diri loe. Gue masih paham benar tentang diri loe. Malah perasaan gue masih sama kayak dulu.” jelas Reno sejelas-selasnya. Reno pikir sekarang udah saatnya ngungkapin unek-uneknya.
“Loe ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat loe!” ancam Nadia. Nih orang emang sinting. Gue baru kena musibah yang bikin kepala pusing, malah di kasih obrolan yang makin pusing.
“Perasaan gue masih kayak dulu, belum berubah sedikit pun. Asal loe tau, gue selalu cari gara-gara ama loe itu ada maksudnya. Gue nggak pengen kita musuhan, diem-dieman, atau apalah. Pas loe nolak gue, gue nggak terima. Tapi seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama. Gue coba buat nerima. Tapi nggak tau kenapa loe malah diemin gue. Akhirnya gue kesel, dan tanpa sadar gue malah ngajakin loe berantem.” Sejenak Reno menanrik nafas.

“Loe mau nggak jadi pacar gue? Apapun jawabannya gue terima.”
Hening sejenak diantara mereka berdua.
“Kayaknya gue pulang duluan deh.” Ucap Nadia sambil buru-buru mengambil tasnya. Inilah kebiasaan Nadia, selalu mengelak selalu menghindar pada realita. Ia bener-bener nggak tau harus ngapain. Dulu ia nolak Reno karena Nesya juga suka Reno. Tapi sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue pindah sekolah.” Rno berbicara tepat saat Nadia sudah berada di ambang pintu UKS.
Nadia terdiam tak sanggup berkata-kata. Di langkahkan kakinya pergi meninggalkan UKS. Meninggalkan Reno yang termenung sendiri.
***
Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa murid yang baru datang. Diliriknya bangku sebelah. Nesya belum datang. Nadia sendiri tumben datang pagi. Biasanya ia datang 5 menit sebelum bel, disaat kelas sudah padat akan penduduk. Semalam Nadia nggak bisa tidur. Entah kenapa bayangan Reno selalu terbesit di benaknya. Apa benar Reno pindah sekolah? Kenapa harus pindah? Peduli amat Reno mau pindah apa nggak, batin Nadia. “Argggg… Kenapa sih gue mikir dia terus?”
“Mikirin Reno maksud loe?” ucap Nesya tiba-tiba udah ada disamping Nadia.
“Nih hadiah dari pangeran loe.” Di lihatnya Nesya mengeluarkan kotak biru berukuran sedang. Karena penasaran dengan cepat Nadia membuka kotak tersebut. Isinya bingkai foto bermotif rainbow dengan foto Nadia dan Reno saat mengikuti MOS SMP didalamnya. Terdapat sebuah kertas. Dengan segera dibacanya surat tersebut.

Dear Nadia,
Inget ga pertama kali kita kenalan? Pas itu loe nangis gara-gara di hukum sama kakak kelas. Dalam hati gue ketawa, kok ada sih cewek cengeng kayak gini? Hehe.. just kidding J. Loe dulu pernah bilang pengen liat pelangi tapi ga pernah kesampaian. Semoga loe seneng sama pelangi yang ada di bingkai foto. Mungkin gue ga bisa nunjukin pelangi saat ini coz gue harus ikut ortu yang pindah tugas. Tapi suatu hari nanti gue bakal nunjukin ke loe gimana indahnya pelangi. Tunggu gue dua tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat loe ga mau jadi pacar gue. I Love You…
                                                                                                                          Salam Sayang,

                                                                                                                          Reno Purwanto


“Kenapa loe nggak mau nerima dia? Gue tau loe suka Reno tapi lo nggak mau nyakitin gue.” sejenak Nesya tersenyum.
“Percaya deh, sekarang gue udah nggak ada rasa sama Reno. Dia cuma temen kecil gue dan nggak akan lebih.” Ujar Nesya menyakinkan Nadia.
“Thanks Sya. Loe emang sahabat terbaik gue.” ucap Nadia tulus.
“Tapi gue tetap pada prinsip gue.” Ucap Nadia yakin.
Nesya terlihat menerawang.

“Jujur, waktu gue tau Reno suka sama loe dan cuma nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue pengen teriak sama semua orang, kenapa dunia enggak adil sama gue. Tapi seiring berjalannya waktu gue sadar kalo nggak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk kita.” senyum kembali menghiasi wajah mungilnya.
“Dan lo harus janji sama gue kalo loe bakal jujur tentang persaan lo sama Reno. Janji?” lanjut Nesya sambil mengangkat jari kelingkingnya.

Ingin rasanya Nadia menolak tetapi Nesya terlalu baik baginya. Dia sendiri tau sampai saat ini Nesya belum sepenuhnya melupakan Reno. Tapi Nadia juga tak ingin mengecewakan Nesya. Berlahan diangkatnya jari kelingkingnya.
“Janji..” gumam Nadia lirih.
Friday, December 9, 2016
 Izinkan Aku Menciumu Ibu

Izinkan Aku Menciumu Ibu

 Izinkan Aku Menciumu Ibu



Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun.
Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu engkau melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu.
Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulan untuknya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.
Ya Allah ampunilah aku dan kedua Orangtuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana meeka menyayangi aku sewaktu aku masih anak anak
Thursday, December 8, 2016
novel berdarah

novel berdarah

novel berdarah



Aku sedang duduk santai di teras rumah setelah menyelesaikan tugas bersih-bersih rumah yang diberikan orangtuaku sebelum pergi ke rumah Paman Wiko. Bibi Nur datang sambil membawa secangkir kopi panas dan meletakkannya di sampingku.
“Ini, Non, kopinya,” kata Bibi Nur.
Aku terheran-heran. Sejak kapan aku suka ngopi dan kapan aku memesannya? Belum sempat protes, seorang tukang pos berhenti di depan pagar rumahku. Memencet bel dan memaksaku bangun dan menghampirinya. Saat aku sampai di sana, tukang pos itu menghilang tanpa jejak. Aku kembali terheran-heran. Aku mengamati sekelilingku tapi aku tak menemukan apapun.
Dengan kesal, kulangkahkan kaki memasuki halaman rumah. Dan kudapati sepiring nasi goreng di atas meja di teras.
“Tampaknya Bibi Nur sedang hank.” Kataku lalu masuk ke dalam, menuju lantai 2 tempat kamarku berada. Kubuka pintu kamar namun ada sesuatu yang aneh, pintunya terkunci! Lagi-lagi aku terheran-heran. Jelas-jelas tadi pagi pintu kubiarkan terbuka. Lalu aku pergi ke dapur untuk mengambil kunci serep. Aku mencium bau darah segar dan sedikit amis saat masuk ke dapur. Aku mengira Bibi Nur barusan memotong ikan atau daging dan lupa membersihkan sisa-sisanya. Ya… aku tak memikirkan soal itu lagi. Kuambil kunci serep kamar yang tergantung di dinding di samping kulkas.
Saat aku berjalan menaiki tangga, kudengar jeritan seseorang dari arah kamarku. Sontak aku berlarian ke sana. Cepat-cepat kumasukkan kunci ke lubang pintu namun pintu kamar tidak kunjung terbuka.
“Astaga! Aku salah mengambil kunci!”
Kini terdengar seseorang mengedor-ngedor pintu itu dengan keras.
“Non… non… bangun, Non! Sudah jam setengah tujuh. Nanti Non terlambat!”
WAAAA… aku terperanjat bangun lalu berlarian membuka pintu kamar.
“Bik, hari ini aku libur!!”
-00-
Aku begitu jelas melihat sang surya tenggelam dari jendela di lantai 3 rumahku. Aku lihat sekelompok burung berterbangan ke sana kemari. Kini langit sudah sangat gelap, tetapi mataku masih jelas menangkap sebuah bayangan yang tengah memencet bel rumahku. Kulihat Bik Nur membuka pintu pagar lalu berbincang-bincang dengan orang itu. Lalu ia menerima sebuah bingkisan berukuran mirip novel. Kemudian ia masuk ke dalam rumah.
Aku memutuskan turun ke bawah di samping perutku yang sudah keroncongan, aku juga ingin menanyakan siapa gerangan yang Bik Nur hampiri di depan tadi.
“Non Dhera belum tidur?” tanya Bik Nur yang mengejutkanku. Aku lihat wajahnya begitu pucat, rambutnya terurai dan sedikit basah.
“Ini sudah jam setengah dua belas malam, Non.” Sambungnya.
Apa? Apa aku tidak salah dengar? Barusan aku menyaksikan matahari terbenam, bagaimana bisa Bik Nur mengatakan ini sudah tengah malam? Kuacuhkan omongannya lalu aku menuju dapur. Rasa lapar ini semakin menjadi-jadi. Kubuka tudung saji, kudapati hidangan yang sepertinya baru dimasak. Lekas kuambil piring, meletakkan satu setengah sendok nasi di atasnya. Kuambil beberapa lauk yang ada. Lalu dengan serta-merta kumenyantapnya. Tibalah suapan terakhir dan.. teng.. tong.. teng.. tong. Jam dinding berbunyi. Mataku terbelalak saat kulihat jam itu menunjukkan pukul duabelas tengah malam.
Bulu kudukku merinding. Saat aku ingin kembali ke kamar, perutku mual-mual, seperti ingin muntah. Aku mencium bau busuk di dapur. Kulihat ulat belatung, serangga, dan binatang menjijikan lainnya di makanan yang santap tadi. Astaga! Makanan itu basi. Kurasakan ada sesuatu yang bergejolak di dalam perutku dan memaksa ingin keluar. Aku memuntahkan semua yang kumakan tadi. Sungguh menjijikan. Aku mulai merasa pusing. Saat aku ingin duduk, aku terpeleset dan jatuh ke lantai. Kurasakan lantai itu begitu dingin dan membuatku seperti membeku. Jantungku masih berdetak, namun sesuatu itu keluar lagi dari mulutku. Cairan putih berbusa keluar dari mulut mungilku. Aku keracunan. Dan kini detak jantungku melemah, lalu sekejap berhenti dan tak kunjung berdetak lagi. Aku merasa tubuhku melayang meninggalkan sebuah tubuh tergeletak tak bernyawa di bawah meja dapur. Aku mati!
-00-
Aku tersadar di sebuah ruangan putih-putih oleh tetesan air yang ternyata kran yang belum aku tutup sempurna selesai aku mandi tadi. Tubuhku begitu dingin karena aku tertidur di dalam bak mandi yang berisi air. Kuraih handuk yang tergantung di samping cermin lalu aku keluar dari tempat itu. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur yang empuk dihadapanku.
“Aku bermimpi lagi. Araggghh!”
“Semakin hari semakin menyeramkan!” gumamku kesal.
“Bik Nur… kau mendengarku? Tolong bawakan aku secangkir coklat hangat dan beberapa lembar roti ta…” belum genap pintaku, ia sudah nongol di depanku. Aku terperanjak.
“Sarapan tiba..” katanya dengan semangat sambil tersenyum.
“Aaah.. iya, Bik, terima kasih.”
“Oh, ya, Non, saya hampir lupa..” ia mengeluarkan sebuah bingkisan lalu memberikannya padaku. “Ini titipan dari teman Non Dhera.”
Segera saja kubuka bingkisan itu. Isinya sebuah buku mirip novel bersampul merah tanpa judul, nama penulis, nama penerbit, tahun terbit, dll. Saat kubuka halaman pertama, aku sudah disuguhkan dengan tulisan yang tidak dapat kubaca. Halaman demi halaman kubuka, sama saja. Namun aneh, beberapa halaman di akhir buku itu masih kosong. Saat kuperhatikan, ada bercak-bercak merah di halaman kosong itu. Mungkin bekas tinta, pikirku. Lalu kuletakkan buku itu di atas meja belajarku.
Kusantap sarapanku yang nikmat ini tanpa memikirkan hal-hal aneh yang belakangan ini kualami. Masa bodoh. Mimpi dan halusinasi yang semu, beda dengan coklat hangat dan roti tawar ini!
Aku membawa piring dan cangkir bekas sarapanku tadi ke dapur. Bau darah segar dan amis itu kembali kucium. Aku memanggil-manggil Bik Nur namun dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Kudengar suara televisi menyala di ruang tamu. Mungkin Bibi sedang menonton, sehingga dia tidak mendengar panggilanku. Selepas dari dapur, aku menuju ke ruang tamu. Kudapati ia duduk membelakangiku di sofa. Rambutnya dibiarkan terurai. Ia sangat asyik menyimak sebuah berita. Aku bersandar di tembok, tak mendekatinya. Kudengar penyiar itu menyampaikan sebuah berita duka dari seorang novelis tenar yang meninggal saat tengah menulis novelnya. Ia dibunuh secara misterius. Novel yang tengah ditulisnya itu raib bersama jejak sang pembunuh. Bik Nur tiba-tiba mematikan televisi.
-00-
Kini aku berbaring di atas kasur empuk saat semua hal aneh itu menggerayangi otakku. Sial! Harusnya liburanku ini mengesankan bukannya mencekam seperti ini. Mataku mencari-cari sesuatu di meja belajar. Sesuatu yang baru kusadari telah hilang dari tempatnya dan hanya meninggalkan sebercak darah segar di sana. Kutarik nafasku perlahan lalu kucubit lenganku. Sakit! Artinya ini bukan mimpi. Aku terperanjak dari tempat tidurku, melompat ke sudut kamar, dan mengigil di sana. Peluh dingin mengucur dan membasahi tubuhku. Kulihat sosok yang sama seperti di depan rumah itu sedang duduk membelakangiku di meja belajar. Tangan kirinya memegang sebuah pena. Ia sedang menulis di atas sesuatu. Astaga! Di atas halaman kosong buku yang kucari-cari tadi.
“Kaukah novelis yang meninggal misterius itu?” tanyaku dalam ketakutan yang menyeruak. Namun ia tidak menjawab, ia tetap menggerakan pena itu. Bau darah segar dan amis itu semakin menjadi. Aku semaki ketakutan dan sesak. Kucoba untuk bangkit membuka pintu dan keluar dari kamar ini lalu pergi sejauh-jauhnya. Namun itu hanya khayalanku semata. Ia berdiri lalu berbalik badan ke arahku kemudian menatapku dengan tatapan penuh benci. Aku tak mengerti dengan semua ini terlebih tatapan penuh kebencian itu. Aku sama sekali tak mengenalnya. Di tengah kekalutan itu, ia mendekatiku lalu mencekik leherku. Aku memberontak, namun percuma saja, aku tak mampu melawan. Nafasku sudah putus-putus.
“Aku akan sangat senang bila kau mati di tanganku. Hahahahaha….” ucapnya dengan keras. Dengan sisa tenagaku, kukepalkan tangan lalu kuayukan dan tepat mengenai pelipisnya. Dia roboh sembari mengerang kesakitan. Dengan sisa tenagaku ini aku mencoba bangkit, meraih gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Aku berjalan terseok-seok menuruni tangga. Kulihat Bik Nur sedang berdiri ke arahku. Bukan! Bukan! Itu buka Bik Nur, melainkan sesosok hantu wanita berpakaian serba putih. Kini aku bagai telur di ujung tanduk.
“Ya, Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” pintaku. “Aku tak ingin mati muda.” Tambahku. Namun, memang nasibku sedang sial. Sosok yang mencekikku tadi kini sudah dibelakangku dan hantu wanita itu sedang menaiki tangga. Kupejamkan mataku, aku pasrah.
Tenagaku sudah habis dan aku tergeletak begitu saja di lantai. Aku merasakan tubuhku diseret menuju sebuah tempat yang panas, pengap, sesak, dan penuh bau darah yang amis. Sungguh menjijikan. Kudengar jelas kedua makhluk lain itu sedang bercakap-cakap. Yang mencekikku tadi ternyata adalah seseorang yang kukalahkan dalam sebuah kompetisi menulis saat itu. Ia telah membunuh 9 orang finalis termasuk dirinya sendiri, dan sekarang adalah giliranku. Aku sadar, inilah maksud halaman kosong di akhir buku tersebut. Ternyata ia bermaksud menuliskan kisah pembunuhan tragis terhadapku beserta 9 finalis lainnya termasuk dirinya.
Aku memaksa mataku untuk terbuka. Aku ingin melihat dunia untuk yang terakhir kalinya. Lalu sebuah benda menembus jantungku dan menghentikannya berdetak seketika. Kurasakan diriku melayang ke suatu tempat yang sejuk, pemandangannya indah. Di sana aku bertemu dengan 8 finalis lainnya. Mereka menyapaku dengan hangat seolah kami telah lama bersama. Inikah surga? Batinku.
-00-
“Dhera….” teriak seorang wanita dari halaman rumahku yang berhasil membuyarkan lamunanku.
“Dhera, anakku….” teriak seorang lelaki di belakangnya, kemudian mereka berdua berlari ke arahku. Aku berdiri bermaksud untuk menyambut mereka, tapi mereka tak berhenti di depanku, melainkan masuk ke dalam rumah. Kulihat mereka bersimpuh di depan tubuh seorang gadis sebayaku yang tengah beristirahat berbalut kain.
“Papa, Mama, aku di sini..!” teriakku. Namun mereka tak menoleh ke arahku, malah semakin menangisi jasad itu. Aku terheran-heran. Siapa gerangan jasad itu? Mengapa papa dan mama begitu terlihat kehilangan?
Aku kembali ke tempat dudukku, menikmati coklat hangat dan beberapa lembar roti tawar buatan Bik Nur ditimpali dengan sebuah surat kabar. Pagi yang indah.
Kubuka koran yang masih terlipat itu lalu kubaca halaman pertama.
“Novel berdarah karangan seorang novelis tenar yang belum lama ini meninggal secara misterius, dikabarkan kembali memakan korban. Dhera, seorang siswi SMA yang juga seorang penulis, ditemukan meregang nyawa di gudang rumahnya. Sebuah buku mirip novel berdarah ditemukan di samping jasad korban.” Usai membaca separagraf berita itu,
“Dhera…” seorang wanita cantik bersayap memanggilku. Mengulurkan tangannya kepadaku. Kugenggam tangan yang membawaku terbang ke langit biru itu.
“Selamat tinggal, Ma, Pa, aku akan sangat merindukan kalian.” Ucapku sambil melambaikan tangan.

Cerpen Karangan: fananda niko nafian
Facebook: fananda niko nafian
instagram : fananda niko nafian
nomer HP : 089606515907
Seorang penulis pemula nan amatiran yang jatuh cinta dengan dunia menulis
Salam kenal ya sobat.
Wednesday, December 7, 2016
tragedi cinta

tragedi cinta

 tragedi cinta 








Selvi memandang dari jendela kamar dan melamun berharap pelangi muncul setelah hujan lebat. Dari arah jendela Selvi melihat seorang pria berteduh di depan rumahnya. Ia masih memperhatikan pria itu dengan sebuah tas gitar yang ia lindungi lebih berharga darinya. Akhirnya hatinya ibah dan keluar dari rumah dengan sebuah payung. Ia mendekati pria itu dan membuka pintu gerbang. “Masuk yuk, daripada kehujanan.” tawar Selvi. “Yakin ga’ papa!!” ujar pria itu sopan. “Serius. Di rumah ini aku tinggal sendiri. Ayo!!!”. Pria itu memarkirkan motornya di halaman rumah Selvi yang sederhana. Kemudian Selvi mengajaknya duduk teras rumahnya. Selvi mengambilkan sebuah handuk kering untuk mengeringkan sisa-sisa hujan untuk pria itu.

Namun pria itu lebih memilih membersihkan gitarnya daripada dirinya. Selvi hanya tersenyum memperhatikan tingkah pria berkulit putih dan bermata sipit tersebut. “Kok gitarnya dulu yang di keringkan. Bukannya kamu??” “Iya ga’ papa. Ini nyawa pertamaku. Jadi penting juga!” “Emang gitar itu buat apa??” “Saya Thomas. Saya seorang gitaris band amatiran namanya Superband.” “Wah pantesan. Dengar-dengar seorang pemusik menganggap alat musik sebagai nyawanya. Aku pikir tadinya cuma rumor dan ternyata benar!” “Hehe. Gitulah. .. Emang kamu bisa main alat musik juga?” “Hm..” Selvi terdiam menatap gitar pria tersebut. “Sedikit bisa main piano, dulu sempat les tapi sekarang udah bodoh kali, tapi kalau gitar emang ga’ bisa. Pengen belajar tapi ga’ ada waktu, sibuk untuk kuliah.” “Oo gitu… Emangnya kamu kuliah dimana?” “STIKOM dekat sini. Bukan asli dari kota ini. Rumah ini kontrak, Jangan heran kalau aku tinggal sendiri di rumah ini!” “Hahaha,, gitu…!”

Selvi menawarkan secangkir teh hangat kepada pria itu. Thomas tersanjung dengan kebaikan gadis itu. Hujan mulai reda. Thomas segera ke café tempat ia bekerja dan pamit kepada Selvi. Selvi senang berkenalan dengan pria itu. “Terima kasih tempat buat aku berteduh, jasa kamu pasti aku balas kelak” “Idih… Pemusik emang romantis kata-katanya. Hmm… bagaimana kalau kamu ajarin aku main gitar!!” “Benar… dengan senang hati aku mau ajarin kamu. Kalau aku sempat pasti aku ajarin kamu.” “Baiklah kalau begitu!”. Perkenalan itu menjadi awal kedekatan mereka.

Thomas benar-benar menemui Selvi untuk mengajarkan Selvi bermain gitar dari nol hingga mulai menarik petikan nada dari gitar klasik yang dipinjamkan oleh Thomas. Selvi mulai menyukai musik sejak itu. Ia selalu menantikan guru les gitar barunya tersebut setiap kesempatan waktu yang ada. Setelah latihan beberapa kali, Thomas juga melihat sebuah potensi besar dari suara yang dimiliki oleh Selvi. Kebetulan vocalis di bandnya memutuskan mundur untuk mencari peluang kerja yang lebih baik. Selvi sempat ragu. Namun karena dorongan yang diberikan Thomas membuat ia berani menyatakan dirinya bersedia. Ternyata, pilihan Thomas kepada Selvi tidak salah. Band mereka mulai banyak menarik minat café-café untuk memberikan porsi konser kepada mereka.

Selvi mulai giat menjadi vocalis dan membuat kuliahnya terbengkalai. Ada hal lain yang ia sembunyikan dalam kebersamaan bandnya. Ia mulai jatuh cinta pada Thomas. Namun Thomas selalu menegaskan kepada seluruh tim untuk menggapai cita-cita mereka dahulu menjadi band sukses ketimpang mengurusi urusan pribadi mereka termasuk cinta. Kebesaran nama band mereka belum cukup untuk membuat band tersebut masuk dalam dapur rekaman. Beberapa kali di tolak oleh pengusaha rekaman da membuat Thomas putus asa. Disaat itulah Selvi selalu memberi dorongan. Cinta antara mereka tak dapat disembunyikan. Sejak itu mereka menjadi sepasang kekasih. Seiring mimpi mereka menjadi band sukses, diikuti kisah cinta mereka yang begitu indah. Mereka mengubah nama bandnya menjadi APPLE. Dengan tambahan dua orang yang awalnya hanya bertiga. Kini mereka berjumlah lima orang termasuk Selvi, Thomas, Gerry, Nita dan Hendra. Dua anggota baru adalah dua bersaudara Nita dan Hendra yang mempunyai kemampuan biola (Nita) dan piano (Hendra). Mereka menginginkan band mereka sukses dan saat itu juga ada audisi konser di kota mereka.

Gerry dan Thomas adalah sahabat dekat yang selalu bersama sejak kecil. Namun Gerry memiliki kebiasaan buruk sehingga memiliki beberapa musuh yang selalu datang untuk mengajaknya berkelahi. Ketika itu Gerri berdebat dengan salah satu anggota band yang terlihat iri dengan kesuksesan band Apple.

Selvi mulai mahir menciptakan lagu dengan gitar. Ia mulai sering bolos kuliah. Ia rela melakukan semua itu demi cita-cita dan mimpinya bersama sang kekasih. Hubungan mereka begitu dekat dan sulit untuk dipisahkan.

Band merekan tiba untuk melakukan audisi dan lolos ke final yang bersaing dengan band yang saat itu membuat keributan dengan Gerry. Mereka telah siap di hari final dan saat itu Selvi sedang ujian di kuliahnya. Ia memutuskan berangkat sendiri dengan taksi menuju tempat audisi setelah ujian usai. Sedangkan Thomas dan Gerry pergi bersama begitu juga Nita dan Hendra. Sesampai disana Selvi, Nita dan Hendra menunggu Thomas dan Gerry. Sedangkan band mereka sebentar lagi audisi. Selvi menghubungi Thomas dan Gerry namun tak dapat di hubungi. Mereka mulai cemas dan akhirnya Gerri menghubungi Selvi. Gerry mengatakan kalau mereka ada suatu urusan dan menyuruh Selvi untuk melakukan audisinya bertiga. Sekarang mereka bertiga berjuang untuk band mereka.

Audisi berakhir dan Selvi membawa keberhasilan. Selvi menghubungi Gerry. “Gerry, kita juara. Kita bisa jadi band dapur rekaman.” “Selamat ya. Sel, Thomas kritis. Dia dirawat di rumah sakit. Ayo, cepatan ke sini.” “Kamu ga’ bercandakan Ger?” “Ngga’, cepatan kesini.” Selvi mulai cemas dan gelisah. Sesampai di rumah sakit ia menemui Gerry dengan luka di kepalanya. Di UGD dia melihat Thomas terbaring dengan alat bantu pernafasan. Ia menerobos ruang itu dan berteriak keras. Suster dan dokter memisahkan gadis itu. Selvi bertanya kepada Gerry. “Kenapa bisa begini?” “Maafkan aku Sel. Ini salah aku. Andai aku tidak buat keributan, dia tak akan seperti ini. Dia tertusuk pisau saat dia menolong aku dari perkelahian itu.” Kemudian dokter keluar dari ruang UGD dan mengatakan pasien telah meninggal. Selvi menerobos pintu UGD dan berteriak sekeras-kerasnya. “Thom, jangan tinggalkan aku.”

Cinta mereka berakhir sebagai kenangan. Selvi tak bisa melupakan kenangan mereka berdua. Ia melihat gitar yang diberikan Thomas sebagai bagian hidup Thomas yang tersisa. Selvi memetik gitar dan akhirnya menciptakan sebuah lagu yang indah. Kemudian Selvi mempunyai semangat untuk bernyanyi. Saat itu band mereka menyanyikan lagu yang dibuat Selvi. Selvi mulai membuka kata-kata terakhirnya, “Lagu ini aku persembahkan untuk orang yang ku cintai yang telah pergi untuk selamanya.” Seorang pengusaha jatuh cinta pada lagu itu dan membuat band mereka sukses. Usai konser Selvi pulang karena kelelahan. Saat teman-temannya datang ke rumah Selvi mereka menemui Selvi dengan tetesan darah dan selembar lirik lagu untuk persembahan terakhir hidupnya. Lagu tersebut kemudian sukses dan menyisakan pilu yang amat dalam.

Copyright © 2012 berbagisoftware-21 All Right Reserved
Blog Serba Ada